Pencemaran Nama Baik di Dunia Digital

Waspadai Pencemaran Nama Baik di Dunia Digital, Ini Konsekuensi Hukumnya Menurut UU ITE

FH – Seiring pesatnya perkembangan teknologi dan derasnya arus informasi yang tersebar di media sosial, isu pencemaran nama baik kini menjadi salah satu sorotan penting dalam ranah hukum digital.

Darajatun Indra Kusuma Wijaya, M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (UNIKAMA), menekankan bahwa persoalan pencemaran nama baik tidak hanya menyangkut hukum formal semata, tetapi juga berdampak pada aspek sosial, terutama menyangkut reputasi individu. “Reputasi adalah modal sosial yang sangat berharga,” ujar Indra.

Ia juga menambahkan bahwa literasi hukum dan kesadaran sosial sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya di era digital seperti sekarang. “Ketika media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, tanpa pemahaman hukum yang cukup, teknologi bisa menjadi pedang bermata dua,” ungkapnya.

Menurut Indra, kasus pencemaran nama baik dapat diselesaikan melalui dua pendekatan hukum, yaitu pidana dan perdata. Pilihan tersebut tergantung pada tujuan korban. Jika korban menginginkan pelaku diberi efek jera, jalur pidana bisa dipilih. Namun, jika tujuannya adalah pemulihan nama baik dan ganti rugi, maka jalur perdata lebih relevan.

Dalam konteks hukum pidana, pencemaran nama baik diatur melalui Pasal 310 dan 311 KUHP, serta Pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hukuman bagi pelaku dapat berupa penjara hingga empat tahun atau denda maksimal Rp750 juta, khususnya jika dilakukan melalui platform digital. Sedangkan untuk jalur perdata, acuan hukum berada pada Pasal 1365 KUHPerdata, yang memungkinkan korban menuntut kompensasi baik secara materiil maupun immateriil.

“Ketika seseorang mengalami kerugian akibat reputasinya tercoreng, ia memiliki hak untuk mengajukan gugatan perdata demi mendapatkan pengakuan atas kerugian ekonomi maupun psikis yang dialaminya,” jelasnya.

Berdasarkan data dari berbagai sumber, jumlah kasus pencemaran nama baik di ranah digital terus meningkat setiap tahunnya. Laporan dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyebutkan bahwa antara tahun 2017 hingga 2021, pelanggaran terkait pencemaran nama baik menjadi salah satu yang paling sering terjadi dalam konteks UU ITE. Sementara itu, Polri mencatat sebanyak 162 kasus serupa terjadi sejak awal Januari 2022, termasuk pelanggaran melalui media elektronik, sebagaimana dilaporkan oleh Robinopsnal Bareskrim Polri.

Di awal tahun 2025, sebuah kasus terbaru mencuat di Malang, melibatkan seorang selebgram berinisial IZ. Ia dituduh mencemarkan nama baik pemilik merek kosmetik berinisial SP, yang kemudian berujung pada tuntutan pidana lima tahun penjara dan denda sebesar Rp10 juta.

Fenomena ini menunjukkan masih rendahnya pemahaman masyarakat terkait batasan kebebasan berpendapat di media sosial. Banyak pengguna belum menyadari bahwa unggahan, komentar, atau pesan yang dianggap sepele bisa menimbulkan konsekuensi hukum serius jika dianggap merugikan pihak lain secara nama baik.

Indra mengimbau agar masyarakat lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial. Walau kebebasan berekspresi dijamin oleh hukum, kebebasan tersebut tetap memiliki batas. “Kita harus menghormati batasan hukum demi menjaga keharmonisan sosial,” ujarnya.

Ia menutup dengan pesan penting: “Setiap ucapan dan tulisan di ruang digital bisa berdampak besar. Oleh karena itu, gunakanlah media sosial dengan bijak karena jejak digital bersifat permanen.”